Selasa, 18 Januari 2011

Rakyatku lebih suka yang kedua di Alun-alun Simpang Lima

Benarkah Indonesia adalah bangsa yang  terkenal dengan kekayaan Agrarisnya sejak jaman nenek moyang. Lihat saja sejarahnya sekitar empat abad yang lalu ketika bangsa ini menjadi daerah yang diperebutkan akan pioner rempahnya oleh bangsa Eropa. Sempat pula menjadi pusat perdagangan Asia. Namun, dari kejayaan itulah ternyata yang menarik perhatian si kulit putih untuk sedikit memutar otak mereka merayu si kulit sawo matang yaitu bangsa kita ini. Yang sebelumnya mengajak kerja sama, untuk selanjutnya ingin berkuasa. Tapi anehnya, mengapa sampai sekarang kita menjadi bangsa yang amat kagum ketika melihat si kulit putih? Inikah mental bangsa kita, mental akan sifat yang selalu kagum akan sesuatu. Tanpa ada keinginan dan upaya untuk menciptakan yang baru. Ya benar kitalah bangsa pengagum, kagum akan ciptaan orang lain. Lalu kapan kita bisa menciptakan sendiri yang jauh dari yang kita kagumi.
Inilah cerminan mental bangsa kita saat ini. Diakui atau tidak, mental seperti inilah yang sudah tumbuh dalam jiwa bangsa yang dahulu menjadi perebutan si kulit putih. Dan sekarang kita yang memperebutkan mereka. Apakah ini berarti kita sudah berhasil dibodohi, bukankah kita bangsa yang pintar? Atau bangsa yang mengaku-ngaku pintar? Pintar di Luar?
Coba tengok Ditengah Megapolitan Ibukota, tidak terlepas dari kehidupan manusia alakadarnya. Bahkan bisa dikatakan tidak layak untuk ukuran manusia yang sejatinya dilindungi haknya oleh negara. Jangan jadikan takdir sebagai alasan jika tidak sanggup mengupayakan kesetaraan. Dan ternyata Ibukota adalah sebagian kondisi yang terekspos.
Lihatlah saudaraku, satu pelajaran yang kupetik ketika berada dalam kegiatan rutinan di tengah Lapangan Simpang Lima Semarang. Kegiatan Cuci gudang pribadi yang mendapat apresiasi tinggi dari rakyat ini. Sorak gembiranya terlihat dari semangat mereka dalam memilah-milah untaian kain yang masih pantas mereka pakai. Kerena memang kocek yang akan mereka rogoh pun tak ada sepersepuluhnya ketika mereka masuk toko. Bukan karena tidak ada toko pakaian atau Mall besar di sana. Bahkan Tiga Mall besar mengelilingi Simpang tersebut. Matahari, Ramayana, Dan Citra Land tak kalah megah dibanding hijaunya lapangan simpang di minggu pagi itu. Akan tetapi si bapak dan si ibu, bahkan muda-mudi lebih hobi kesana ketimbang masuk Mall berpajak besar dengan lantainya yang licin.
Tak ada rasa canggung untuk memakainya. Asal jahitannya masih bagus dan warnanya belum memudar tak jadi masalah buat mereka. Selain jauh lebih murah, juga karena masih bagus, tinggal dicuci dan disemprot pewangi, sudah bisa melindungi dari panas matahari. Daripada kain-kain ini tidak berguna, lebih baik buat kami. Bahkan kalau ada yang beruntung dan jeli, baju bermerek bagus akan bis mereka pakai. Entah bekas artis, atau orang-orang bermobil itu. Bahkan keringat siapapun yang pernah menempel di baju ini, tak jadi masalah buat mereka.
Tawa mereka inilah yang membuat para penjual yang sebagian besar mahasiswa itu bersemangat dalam kegiatan rutin mingguan ini. Karena bisa saja jika kegiatan rutin ini ditiadakan, mereka mungkin tidak berganti model pakaian seperti mode trend anak-anak muda saat ini. Berbeda dengan Noni bermobil yang melintas di lingkaran jalan itu. Berbagai model pakaian bermerek di dalam etalase lah yang menjadi pilihan mereka. Karena memang Koceknya tebal, dan kulitnya pun tak ada kuman yang berani menyentuh dibandingkan yang memilih masuk dalam riuhnya lapangan hijau tadi. Lagi-lagi alasannya adalah karena si kaya bisa membeli, dan  si miskin lebih suka yang kedua, karena tak ada dana.
Lalu apakah mental seperti inikah yang akan kita budayakan dalam bangas kita. Bahkan Tak jarang si kaya juga menyukai yang kedua. Yaitu menjadi yang kedua dalam meniru sifat-sifat pendahulunya. Sifat ingin jaya sendiri, dengan dalih rakyat miskin yang seharusnya mereka lindungi. Setara itu sendiri sekarang juga menjadi slogan dalam visi tertentu. Tapi benarkah ada upaya akan Kesetaraan itu?
 Upaya ini tidak akan pernah terwujud tanpa adanya dukungan sikap mental Si kaya dan Si miskin yang sudah berkembang sampai saat ini. Kalau memang mau setara, seharusnya perbedaan pelayanan umum di semua instansi juga dihapuskan. Hak berpendidikan tidak hanya untuk yang mampu membayar, karena semua adalah setara anak bangsa yang dilahirkan di tanah Indonesia. Anak bangsa yang akan menjadi pemuda bangsa. Pemuda yang menjadi cerminan bangsa. Pemuda inilah yang sejatinya akan menjadi penerus kursi di belakang meja. Tapi jangan hanya menjadi penerus yang kedua, yang hanya meniru mental-mental penguasa. Karena sadarilah bahwa bangsa kita ini butuh PEMBAHARU...