Ini adalah cerita nyata yang
dialami keluargaku. Cerita yang cukup mengharukan, serta sangat memberikan
pesan hidup yang luar biasa bagi seorang insan. Memang cerita ini tidak
langsung kualami, tapi dari cerita ini aku bisa mengambil hikmah yang luar biasa.
Hikmah akan pengaruh seorang Ibu dalam kehidupan kita, hikmah akan cinta
seorang ibu yang takkan pernah bisa diganti oleh siapapun. Mungkin cerita
tentang kuatnya cinta seorang ibu memang sudah sering kita lihat dalam
kehidupan kita masing-masing dan tidak bisa diragukan lagi. Tapi apa yang aku
lihat ini, sungguh begitu Unik dan Luar biasa.
Cerita ini dialami langsung oleh
Kakak kandungku yang sejak kecil diasuh oleh Kakek kandung dan Nenek tiri kami.
Panggil saja namanya Prast. Kak Prast mulai tinggal bersama dengan Keluarga
nenek saat masih berumur dua tahun. Pada saat itu pula, ibu kami memiliki dua orang
anak yang masih balita. Kak Prast yang masih berumur dua tahun, dan Kak Rini yang
berumur dua bulan. Kami merupakan keluarga sederhana yang tinggal di sebuah desa
kecil di ujung kota Jepara. Desa Dermolo namanya.
Sekitar awal tahun 80-an, kondisi
ekonomi di desa tersebut bisa dikatakan minim. Bisa dibayangkan, saat itu
kendaraan transportasi umum untuk menuju
sebuah pasar yang berjarak 10 KM belum ada sama sekali. Jalan raya pun masih
beralaskan tanah dan batu. Sisi kanan dan kiri dipenuhi hutan jati. Begitu pun
keadaan keluarga kami dengan kondisi rumah yang masih beralaskan tanah. Dinding
rumah kami berasal dari anyaman bambu dalam bahasa Jawa nya disebut Gedeg. Tidak hanya itu, atap rumah kami
pun masih terbuat dari anyaman daun lontar yang disebut Welit. Dan setiap hujan mendera, maka sang ibu harus sudah siap
dengan baskom anti bocornya, agar tetesan air yang masuk ke rumah kami tidak
membuat becek di permukaan tanah alas rumah kami. Tapi hal itu menjadi wajar,
karena kondisi tetangga kami pun tak jauh berbeda dengan rumah kami. Yah tahun
80-an memang kondisi negara ini masih sangat jauh dari istilah makmur apalagi
maju.
Kalau ditanya masalah fasilitas
rumah, apalagi televisi, listrik saja belum masuk di wilayah kami. Hanya lampu
teplok satu-satunya sumber penerangan di malam hari. Hanya Radio kuno saja yang
menjadi hiburan keluarga sambil menghabiskan waktu malamnya. Itu pun hanya
dimiliki beberapa orang yang menjabat sebagai pamong desa saja yang bisa
membelinya. Kalau seperti keluarga kami yang hanya berpenghasilan sebagai
tukang ukiran kayu di jepara, paling hanya bisa menikmati indahnya bintang di
malam hari sebagai teman malam. Ya begitulah kondisi keluarga ku saat itu,
kondisi desa di daerahku. Meskipun begitu, desa itu penuh dengan kedamaian dan
kekeluargaan serta suka saling tolong menolong.
Karena kuatnya sifat
tolong-menolong tersebut, sampai sempat sedikit disalah artikan oleh Nenek tiri
kami. Dengan melihat kondisi keluarga anaknya yang masih kesusahan secara
ekonomi, serta harus menghidupi 2 bayi mungkin akan menjadi berat. Sehingga
nenek kami berinisiatif untuk mengadopsi, istilah halusnya merawat kakakku mas
prast. Tentu saja ibu dan ayah ku tidak setuju dengan hal itu, karena mereka
masih merasa mampu untuk merawat kedua buah hatinya. Meskipun sebenarnya jarak
rumah mereka juga tidak berjauhan, hanya bertetangga desa. Tapi tetap saja
orang tua kami memikirkan efek ke depannya, karena bagi mereka buah hati adalah
harta yang paling berharga dibandingkan dengan materi.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Suatu hari ibuku
hendak pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan untuk warungnya. Pasar
yang berjarak sepuluh kilometer harus ditempuh dengan berjalan kaki. Ayah kami
pun sedang bekerja di mebel bosnya. Hanya Nenek kami yang bisa membantu untuk
menjaga kedua bayinya saat ibu belanja ke pasar. Pagi-pagi betul ibuku
mengantarkan kedua bayinya ke rumah nenek. Ibu mulai berangkat ke pasar setelah
memastikan bahwa kedua bayinya tidak akan rewel saat ditinggal beberapa jam
karena kehausan ASI. Sebenarnya tidak ada firasat apa-apa saat ibuku mulai
berangkat ke pasar, karena di dalam hatinya dia hanya menitipkan kedua bayinya beberapa
jam saja di rumah nenek kami. Mungkin hanya sedikit tidak tega saja, khawatir
jika nanti mereka kehausan ASI.
Tidak
memakan waktu sehari penuh ibuku sudah kembali, dan menjemput kedua bayinya.
Yah seperti dugaannya, kedua bayinya dalam keadaan baik-baik saja. Hanya sedikit
kehausan, kekhawatiran ibu tidak terjadi terlalu parah. Tapi ada yang aneh dari
situ. Saat ibuku sudah mulai menggendong kedua bayinya bersamaan, tiba-tiba kak
Prast meronta minta diturunkan. Awalnya ibuku berfikir, mungkin karena kak
Prast masih ingin bermain. Bayi 2 tahun yang masih belum bisa jalan itu merasa
tidak nyaman saat berusaha digendong ibunya. Tapi karena hari sudah menjelang
sore, ibu tetap merayu kak Prast untuk diajak pulang. Tidak seperti biasanya,
kak Prast tetap meronta menolak digendong ibu.
Dari situlah awal cerita seorang anak yang selama dua puluh tahun tidak mengakui ibu kandungnya sendiri. Selama dua puluh tahun pula, sang anak tidak mau dirawat oleh sang ibu kandung, serta tidak pernah memanggil ibunya sebagai Ibu. Meskipun mereka tetap sering bertemu, karena hanya bertempat tinggal bersebelahan desa. Akan tetapi sang anak sama sekali tidak pernah memanggil dan mengakui ibunya sendiri. Tidak dapat saya bayangkan betapa hancurnya perasaan ibu saya, ketika melihat perkembangan anak sulungnya, akan tetapi tidak dapat memeluknya.
Akan tetapi, keajaiban pun terjadi. Tuhan telah menunjukkan kuasanya, bahwa sekuat apapun sang anak menolak ibu kandungnya, harga setetes air susu ibu tidak akan pernah bisa memisahkan batin mereka. Hal ini terbukti ketika kakak sayaberusia sekita 22 tahun. Saat itu ia menjadi seorang mahasiswa angkatan akhir. Mulai dari situlah ia mulai tergerak hatinya untuk memanggil ibu kami dengan sebutan ibu. Apakah mungkin karena ia segan, atau karena ia sudah mulai sadar, hanya ia dan Tuhan yang tau. Sedikit demi sedikit ia membiasakan untuk berinteraksi dengan ibu kami. Meminta uang saku pun ia kini lebih sering kepada ibu, daripada kepada ayah. Dan puncaknya telah saya saksikan sendiri, ia menangis dalam pangkuan ibu, ketika lebaran tahun 2004. Saat ia diwisuda menjadi seorang sarjana dengan gelar Sarjana Teknik. Di situ ia mengeluarkan seluruh perasaannya, rasa dosanya karena tidak pernah mengakui ibu sejak balita. Rasa cintanya yang luar biasa, ia mengakui, meskipun selama ini yang dianggapnya sebagai ibu adalah nenek kami, tapi ia sadar bahwa wanita yang dipeluknya inilah Ibu nya yang sesungguhnya. Ibu yang tidak pernah mengharap imbal jasa apapun dari sang anak. Ibu yang bahkan siap rela mati demi sang anak. Ibu yang telah menguras keringatnya untuk menanam kacang di sawah demi biaya kuliah sang anak. Ibu yang selalu menangis di hadapan Allah untuk mendoakan sang anak. Sungguh hanya satu-satunya wanita inilah yang dapat melakukan hal itu kepada kakaku, begitupun kepadaku. Maafkan aku ibu, maafkan aku yang kadang lalai kepadamu. Sungguh air mataku tak kan cukup membayar semua salahku padamu. Love you much mom.