Kamis, 18 Oktober 2012

Renungan buat Si Hati


Jujur kukatakan, manusia itu tak ada yang sempurna. Bahkan, ketika kita ingin menjadi seseorang yang benar-benar menjaga. Menjaga lisan, menjaga perbuatan, sampai menjaga hati. Tapi kuakui, sekuat apapun diri ini berusaha, hati ini tak dapat membungkamnya. Ia selalu berkecamuk sesukanya sendiri. Sudah ku larang. Tapi tak mau. Ia tetap ingin bebas.
Dari awal akalku sudah berusaha mengurungnya. Tapi nafsuku juga sering membebaskannya. Empat tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk ukuran manusia. Sekalipun itu angka yang singkat untuk perputaran alam semesta. Seharusnya cukup di awal saja aku membiarkan hatiku bebas. Di masa akalku belum bisa berpikir tentang hati. Disaat ia hanya bisa berpikir untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Seharusnya cukup saat itu saja. Jangan berlanjut, jangan mendalam. Tapi betapa bodohnya akalku yang membiarkan si hati semakin mendalam. Membiarkan apa yang ingin ia lakukan semakin jauh. Dan sekarang akal sudah mulai bisa berpikir tentang hati. Tapi ia terlanjur jauh bermain dengan hati. Sampai aku sendiri tidak bisa mengendalikannya.
Tapi lagi-lagi aku sadar, sepertinya aku memang bodoh. Ya, aku bodoh sekali. Selama ini aku telah membiarkan hatiku bermain-main sendiri. Padahal sudah lama sekali kawan mainnya berhasil mengurung hatinya dalam-dalam. Hhhhhhh, aku hanya bisa tertawa nyinyir melihat diriku ini. Jika aku ditanya, siapa hati paling bodoh yang pernah kutemui. Hati itu adalah hatiku sendiri. Bisa-bisanya dia bermain dengan bayangan kawan mainnya dulu lama sekali.
Mungkin sekarang, sepertinya aku sudah mengalami kemajuan. Sedikit demi sedikit, hatiku bisa menghapus bayangan kawan mainnya dulu. Kawannya yang sudah berhasil menenggelamkan nafsunya dalam-dalam. Aku juga ingin seperti dia. Berhasil menenggelamkan nafsuku dalam-dalam. Aku ingin berhasil menghapus bayangan hati kawanku sampai tak berbekas. Aku juga ingin membuat hatiku yang dulu menjadi bersih, dan hanya ku berikan untuk Tuhanku.
Sulit memang. Karena lagi-lagi manusia itu tak kan bisa sempurna. Bahkan hatiku ini juga Tuhanku yang memberikannya. Jadi apakah Dia akan marah jika aku menggunakannya untuk bermain dengan hati manusia lainnya? Bahkan sekalipun saat aku hampir kehabisan tenaga untuk menghapuskan bayangan kawanku. Aku memang tak sempurna. Aku tak bisa memungkirinya. Hatiku sudah terlanjur dalam kepadanya.
Tapi aku harus menegaskan pada diriku sendiri. Aku tak boleh mengharapkan balasan atas perasaanku ini. Aku sendiri yang akan menghapusnya. Aku sendiri yang akan membersihkannya. Tak perlu ada interaksi, tak perlu ada komunikasi. Tak perlu ada kenangan, tak perlu ada impian. Tak perlu ada alasan, tak perlu ada toleransi. Ini satu-satunya cara. Ya ini satu-satunya. Jika dia berhasil, maka aku pun harus bisa berhasil. Meskipun ku akui, kapasitasku tak setara dengannya. Maka caraku pun harus berbeda. Aku hanya ingin berusaha melalui jalan yang bersih, aku ingin cara yang bersih. Sekalipun diriku masih alfa.
Aku sendiri tak mengerti, apakah ini salah atau benar. Bahkan manusia se alim apapun tak kan bisa menentukannya. Juga takkan bisa menghindarinya. Ya itu benar, karena mereka juga tak sempurna. Setidaknya, mereka juga ada yang mengalaminya. Paling tidak mereka sudah berusaha. Berusaha untuk menjaga. Aku juga sudah berusaha. Tapi hati yang tetap berkata. Kalau ada yang bilang, sudah semaksimal apa usahaku, memangnya ada yang tahu titik maksimal usaha manusia itu seberapa? Kalau mau memakai istilah maksimal untuk mengukur batasan manusia, tentu saja sampai nyawa ini lepas dari raga. Jadi aku rasa, seharusnya tidak ada manusia mana pun yang berani bertanya titik maksimal itu. Tuhan yang lebih tahu semua itu. Lagi-lagi manusia itu tidak ada yang sempurna. Jangan bermimpi untuk mengadili manusia lainnya. Apalagi jika itu bukan kewenangan kita sebagai manusia.
Mereka bilang memalukan. Seorang pembelajar agama yang masih ingusan tak bisa menjaga hatinya. Hatinya pada manusia juga. Memalukan, ya memang memalukan, memalukan di hadapan Tuhannya. Tapi bukan tempatnya memalukan di hadapan manusia. Karena manusia itu lagi-lagi tak ada yang sempurna. Apalagi ingusan, bahkan yang sudah paham pun tak bisa luput dari ujian itu.
Bukan diriku ingin membela diri, atau hanya sekedar ingin mencari pembenaran. Aku juga manusia yang masih alfa. Tak pantas mencari pembenaran. Tapi aku bukan orang yang takut dengan penilaian manusia. Karena lagi-lagi manusia tak ada yang sempurna. Aku tak khawatir jika ditinggalkan manusia, karna mereka juga tidak akan bersamaku selamanya. Aku hanya takut jika Tuhanku yang berpaling dariku. Karena sikapku, karena lisanku, karena hatiku. Aku hanya yakin, Dia lah yang memberikan ujian. Maka Dia juga yang menilainya. Ujian tentang perasaanku, ujian tentang mentalku, ujian tentang nafsuku, ujian tentang akalku, dan ujian tentang hatiku. Tinggal bagaimana aku mempelajarinya, dan menjawabnya bukan dengan mencontek. Tapi menjawabnya dengan kemampuan dan usahaku sendiri. Biarlah Tuhanku yang memberi nilai akhirku. Dan cukup Tuhanku yang menolongku.