Selasa, 27 Maret 2012

Episode Kenaikan BBM ke-Sekian “APBN Turun, Rakyat yang Menanggung?”


Drs. H. M. Jusuf Kalla menjelaskan: “kenaikan yang terjadi pada BBM tidak akan mempengaruhi inflasi terlalu besar. Justru subsidi ini akan dapat dialokasikan untuk kegiatan lainnya : seperti perbaikan infrastruktur dan pemberian modal usaha untuk rakyat. Jika harga BBM tidak dinaikkan, harga BBM yang murah justru akan dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Dulu saat kenaikan terjadi 120 % masyarakat tidak terlalu banyak protes, kenapa sekarang yang hanya 30 % saja sampai terjadi penolakan besar-besaran.”
Statement ini disampaikan oleh Moh. Jusuf Kalla saat mengisi kuliah umum pelantikan lembaga mahasiwa Universitas Diponegoro pada hari selasa, 27 Maret 2012, pukul 10.00 WIB di gedung Soedharto yang bertemakan “Pemuda, Mahasiswa, dan Pembangunan Nasional”. Pernyataan tersebut disampaikan beliau untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang mahasiswa tentang pendapat pribadi Moh. Jusuf Kalla terhadap kebijakan pemerintah tersebut.
Dalam hal ini tercermin bahwa memang berita tentang rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan pada awal april telah menyita perhatian publik secara besar-besaran. Tidak hanya dari elemen masyarakat, tetapi juga dari para elemen mahasiswa yang menyatakan penolakan besar-besaran. Bahkan telah banyak kajian yang dilakukan untuk menganalisis efek positif dan negatif yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. Diantaranya yaitu seberapa besar kenaikan nilai APBN jika kenaikan BBM sebesar 30 % tersebut dilakukan. Kemudian apakah sektor yang paling utama mempengaruhi kenaikan anggaran APBN adalah subsidi BBM. Lantas berapa besar pajak yang diterima pemerintah sebagai pemasukan APBN itu sendiri? Berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk melakukan beberapa renovasi sarana wakil rakyat yang sebenarnya itu masih sangat layak digunakan?
Dari penjelasan salah seorang anggota DPR (diluar perannya sebagai politikus salah satu partai) menjelaskan: “Selama ini pemerintah beralasan salah satu penyebab kenaikan harga BBM ialah subsidi BBM untuk rakyat, namun jika menggunakan data dari RAPBN 2012 yang disampaikan pemerintah kepada DPR ternyata ada penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp54 triliun, kemudian pajak perdagangan internasional Rp5 triliun. "Nah, jika kebutuhan subsidi itu maka pemerintah harus tambah Rp55,1 triliun. Maka Rp59 triliun dikurangin Rp55,1 triliun maka itu pun masih surplus sekitar Rp3,9 triliun, itu salah satu contohnya yang tidak disampaikan ke rakyat.” Dari data tersebut terlihat sekali bahwa sebenarnya subsidi BBM bukanlah penyebab utama kenaikan APBN.
Dampak terbesar yang akan terjadi bukanlah terdapat pada mampu atau tidaknya masyarakat untuk membeli BBM sejenis premium, tetapi lebih kepada efek domino yang langsung berimbas pada rakyat kecil. Jika para elit politik mengatakan bahwa kenaikan sebesar RP.1500 itu masih bisa ditanggulangi dengan mengurangi pengeluaran yang tidak penting, lalu apakah para wakil rakyat juga mau berkorban sedikit untuk tidak bermewah-mewahan? Dan lagi-lagi pasti rakyat kecil lah yang notabennya harus mencari sesuap nasi dengan bersusah payah terpaksa menambah pengeluaran sebesar Rp. 1500 tersebut untuk sekedar membeli beras. Kita ingat bahwa “Subsidi merupakan tanggung jawab Negara”,  negara kita bukan negara kapitalis, tetapi negara Indonesia adalah yang berasaskan pancasila, dimana “kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau disubsidi negara," Lantas mengapa harus rakyat kecil yang menanggung dampaknya secara langsung?
Di samping itu, jika kita menyadari akan kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia terhadap minyak bumi sangatlah besar. Akan tetapi pengelolaannya masih dikuasai asing, dimana keuntungan dari penambangan tersebut hanya mencapai 20 % yang masuk kepada pemerintah. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa Kebijakan ini melangar konstitusi Negara dimana “Bumi dan sumber daya alam lainya dikuasai Pemerintah dan dipergunakan untuk kesejahtraan masyarakat”, sudah jelas bahwa kekayaan yang ada di bumi terutama BBM adalah hak rakyat Indonesia untuk menikmatinya. Bukan berarti rakyat kecil yang harus menanggung dampak kenaikan pembengkakan APBN tersebut yang disebabkan oleh sektor lain.
Jika memang pemerintah masih memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan tersebut yang jelas-jelas ditolak rakyat, lalu apakah transparansi terkait besaran penurunan APBN serta hasil perhitungan pemerintah terhadap kenaikan APBN dengan mencabut subsidi BBM sudah di jelaskan. Jika masih dalam batas kira-kira, apa iya republik ini akan dijadikan republik kira-kira? Sementara nasib rakyat miskin yang jadi jaminannya?