Jujur kukatakan, manusia itu tak ada yang
sempurna. Bahkan, ketika kita ingin menjadi seseorang yang benar-benar menjaga.
Menjaga lisan, menjaga perbuatan, sampai menjaga hati. Tapi kuakui, sekuat
apapun diri ini berusaha, hati ini tak dapat membungkamnya. Ia selalu
berkecamuk sesukanya sendiri. Sudah ku larang. Tapi tak mau. Ia tetap ingin
bebas.
Dari awal akalku sudah berusaha mengurungnya. Tapi
nafsuku juga sering membebaskannya. Empat tahun itu bukan waktu yang sebentar
untuk ukuran manusia. Sekalipun itu angka yang singkat untuk perputaran alam
semesta. Seharusnya cukup di awal saja aku membiarkan hatiku bebas. Di masa
akalku belum bisa berpikir tentang hati. Disaat ia hanya bisa berpikir untuk
melakukan apa yang ingin ia lakukan. Seharusnya cukup saat itu saja. Jangan
berlanjut, jangan mendalam. Tapi betapa bodohnya akalku yang membiarkan si hati
semakin mendalam. Membiarkan apa yang ingin ia lakukan semakin jauh. Dan
sekarang akal sudah mulai bisa berpikir tentang hati. Tapi ia terlanjur jauh
bermain dengan hati. Sampai aku sendiri tidak bisa mengendalikannya.
Tapi lagi-lagi aku sadar, sepertinya aku
memang bodoh. Ya, aku bodoh sekali. Selama ini aku telah membiarkan hatiku
bermain-main sendiri. Padahal sudah lama sekali kawan mainnya berhasil
mengurung hatinya dalam-dalam. Hhhhhhh, aku hanya bisa tertawa nyinyir melihat
diriku ini. Jika aku ditanya, siapa hati paling bodoh yang pernah kutemui. Hati
itu adalah hatiku sendiri. Bisa-bisanya dia bermain dengan bayangan kawan
mainnya dulu lama sekali.
Mungkin sekarang, sepertinya aku sudah
mengalami kemajuan. Sedikit demi sedikit, hatiku bisa menghapus bayangan kawan
mainnya dulu. Kawannya yang sudah berhasil menenggelamkan nafsunya dalam-dalam.
Aku juga ingin seperti dia. Berhasil menenggelamkan nafsuku dalam-dalam. Aku
ingin berhasil menghapus bayangan hati kawanku sampai tak berbekas. Aku juga
ingin membuat hatiku yang dulu menjadi bersih, dan hanya ku berikan untuk
Tuhanku.
Sulit memang. Karena lagi-lagi manusia itu tak
kan bisa sempurna. Bahkan hatiku ini juga Tuhanku yang memberikannya. Jadi
apakah Dia akan marah jika aku menggunakannya untuk bermain dengan hati manusia
lainnya? Bahkan sekalipun saat aku hampir kehabisan tenaga untuk menghapuskan
bayangan kawanku. Aku memang tak sempurna. Aku tak bisa memungkirinya. Hatiku
sudah terlanjur dalam kepadanya.
Tapi aku harus menegaskan pada diriku sendiri.
Aku tak boleh mengharapkan balasan atas perasaanku ini. Aku sendiri yang akan
menghapusnya. Aku sendiri yang akan membersihkannya. Tak perlu ada interaksi,
tak perlu ada komunikasi. Tak perlu ada kenangan, tak perlu ada impian. Tak
perlu ada alasan, tak perlu ada toleransi. Ini satu-satunya cara. Ya ini
satu-satunya. Jika dia berhasil, maka aku pun harus bisa berhasil. Meskipun ku
akui, kapasitasku tak setara dengannya. Maka caraku pun harus berbeda. Aku
hanya ingin berusaha melalui jalan yang bersih, aku ingin cara yang bersih. Sekalipun
diriku masih alfa.
Aku sendiri tak mengerti, apakah ini salah
atau benar. Bahkan manusia se alim apapun tak kan bisa menentukannya. Juga
takkan bisa menghindarinya. Ya itu benar, karena mereka juga tak sempurna.
Setidaknya, mereka juga ada yang mengalaminya. Paling tidak mereka sudah
berusaha. Berusaha untuk menjaga. Aku juga sudah berusaha. Tapi hati yang tetap
berkata. Kalau ada yang bilang, sudah semaksimal apa usahaku, memangnya ada
yang tahu titik maksimal usaha manusia itu seberapa? Kalau mau memakai istilah
maksimal untuk mengukur batasan manusia, tentu saja sampai nyawa ini lepas dari
raga. Jadi aku rasa, seharusnya tidak ada manusia mana pun yang berani bertanya
titik maksimal itu. Tuhan yang lebih tahu semua itu. Lagi-lagi manusia itu
tidak ada yang sempurna. Jangan bermimpi untuk mengadili manusia lainnya.
Apalagi jika itu bukan kewenangan kita sebagai manusia.
Mereka bilang memalukan. Seorang pembelajar
agama yang masih ingusan tak bisa menjaga hatinya. Hatinya pada manusia juga. Memalukan,
ya memang memalukan, memalukan di hadapan Tuhannya. Tapi bukan tempatnya
memalukan di hadapan manusia. Karena manusia itu lagi-lagi tak ada yang
sempurna. Apalagi ingusan, bahkan yang sudah paham pun tak bisa luput dari
ujian itu.
Bukan diriku ingin membela diri, atau hanya
sekedar ingin mencari pembenaran. Aku juga manusia yang masih alfa. Tak pantas
mencari pembenaran. Tapi aku bukan orang yang takut dengan penilaian manusia.
Karena lagi-lagi manusia tak ada yang sempurna. Aku tak khawatir jika
ditinggalkan manusia, karna mereka juga tidak akan bersamaku selamanya. Aku
hanya takut jika Tuhanku yang berpaling dariku. Karena sikapku, karena lisanku,
karena hatiku. Aku hanya yakin, Dia lah yang memberikan ujian. Maka Dia juga
yang menilainya. Ujian tentang perasaanku, ujian tentang mentalku, ujian
tentang nafsuku, ujian tentang akalku, dan ujian tentang hatiku. Tinggal
bagaimana aku mempelajarinya, dan menjawabnya bukan dengan mencontek. Tapi
menjawabnya dengan kemampuan dan usahaku sendiri. Biarlah Tuhanku yang memberi
nilai akhirku. Dan cukup Tuhanku yang menolongku.