Senin, 15 Agustus 2011

Indahnya Menjaga Hati (Potongan Novel Remaja yang sedang terganggu Hatinya, Karyaku)


Aku ingat saat itu. Tanggal 1 Muharram, tepatnya tahun baru hijriah atau tahun baru Islam. Sekitar pukul setengah 8,malam, di rumahku. Ketika aku sedang liburan semesteran kelas 3 SMA. Setelah berminggu-minggu aku tidak tinggal dengan orang tuaku, karena aku harus tingal dikosan dekat sekolahku. Maklum, rumahku berbeda kota dengan sekolahku. Nyaring kudengar dering handphoneku yang kuletakkan di atas rak televise di ruang tengah. Ibuku nyaris membukanya karena aku tak segera mengangkat handphone.
“syafa ada telfon, buruan diangkat”, perintah ibuku yang selalu buru-buru meminta untuk mengangkat telpon saat telpon berdering karena tidak mau orang di seberang sana lama menunggu, atau karena berisik.
 “Iya bund, sebentar” jawabku.
Segera ku letakkan sendok dan kutinggalkan meja makan menuju ruang tengah. Bunyi telpon sudah berhenti. Ternyata hanya sebuah pesan singkat. Langsung saja aku buka. Sebuah pesan dari nomor yang tak kukenal. Bahkan aku saja lupa saat itu adalah hari tahun baru hijriah. Ya mengingat aku dulu yang memang seorang anak SMA yang tidak begitu paham agama, dan bisa dikatakan salah satu remaja cewek ABG. Maklum saja kalau tahun baru islam pun aku tak pernah menghapal kapan tepatnya. Paling yang aku ingat hari-hari besar yang kebanyakan jadi trend anak muda, hari valentine, tahun baru masehi, dan masih banyak lainnya yang biasanya dijadikan moment untuk sekedar memberi perhatian pada sahabatnya atau sekedar untuk bersenang-senang.
Kembali pada pesan singkat yang kuterima. Pesan itu berisi ucapan selamat tahun baru Hijriah, yaitu tepat tanggal 1 Muharram. Aku masih penasaran siapa yang mengirim pesan itu padaku. Seingatku teman-teman yang sering sms aku tidak ada yang seperhatian dengan moment seperti ini. Lalu aku ceck nomor hapenya. Bukan salah satu nomor teman sekolahku yang aku punya. Teman lamaku juga aku tidak begitu yakin. Tapi tiba-tiba di benakku terlintas satu nama yang mungkin punya nomor hape ini. Ya mungkin dia, teman sekelasku seorang anak anggota rohis di sekolahku yang terkenal super alim dan agak kuper di menurutku, Tapi dia kan tidak punya nomor hapeku. Pasti teman-temannya ya yang sejenis sifatnya itu. Kita aja gak pernah smsan, bahkan untuk suatu kepentingan sekalipun. Tapi mungkin saja dia minta nomorku ke salah satu temanku sekelas. Tapi juga tidak ada alasan buat apa dia mencari nomorku. Ahhh rasa penasaran itu benar-benar semakin membuncah. Siapa sih yang ngirim, satu sisi aku ingin tahu siapa orang yang seperhatian ini, satu sisi aku juga jadi agak Gr dengan sms ini.
Aku terus berpikir, tapi di isi kepalaku ini tetap menuduh si anak rohis itu yang mengirim. Dan karena GR nya aku, apa mungkin dia memang memperhatikan aku. Padahal aku ini kan termasuk cewek yang tidak mencerminkan seperti cewek muslimah kayak anggota rohis di sekolahanku. Aku saja tidak memakai jilbal, bahkan bajuku pendek semua. Sikapku di kelas yang arogan dan agak menyerupai anak- laki-laki.Benar-benar bukan tipenya. Jadi tidak mungkin dia dengan sengaja mencari tahu nomorku, kemudian sok-sok memberi perhatian. Dari belakang ibuku sudah mulai memanggilku karena aku lupa dengan makanan yang tadi belum aku habiskan di meja makan. “Iya Bund, sebentar”, lagi-lagi aku menjawab seperti itu.
Selesai makan aku masih penasaran dengan pesan singkat yang tadi masuk dihapeku. Nama itu masih yakin melekat di kepalaku. Haah daripada penasaran lebih baik aku balas saja smsnya, lalu kutanyai saja itu siapa. Aku mulai membuak hapeku dan ku ketik “Terimakasih, ini nomor siapa ya?”. Tak selang beberapa menit hapeku bunyi lagi. Satu pesan masuk, Lalu kubuka, balasan sms dari nomor misterius itu. “Yusuf^_^” balasnya dengan cirri smsnya yang sampe sekarang menggunakan lambing senyum. Plakk,brekkkk, jantungku seperti mau jatuh, rasanya pengen aku tampar sendiri pipiku ini. Apakah aku mimpi. Wajah polosku mlongo di depan layar hape, tanpa berkutik, dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Dekk, pundakku terasa ditepuk dari belakang. Ibukku ternyata daritadi memperhatikan sikapku yang bengong. “Itu ambil remot tvnya,malah nglamun!” pinta ibukku sekaligus menyadarkanku dari rasa kaget yang barusan aku terima.
Klik, kututup hapeku dan aku buka lagi. Aku baca lagi pesan itu. Dan ternyata isinya masih sama, nama itu. Hhhuaaaaa, aku sadar dan baru bersuara kegirangan dalam kamar karena tidak mau ibukku mendengar tingkahku yang seperti orang gila ini. Yeyeyeye, hhhhheheh,,hikshiks.,beragam ekspresi aku luapkan di situ akibat sesuatu hal yang tak dapat aku percaya itu. Pesan itu nyata, anak rohis yang tadinya aku pikirkan benar nyata. Dialah orang yang telah mengirimkan pesan itu. Sungguh tidak dapat aku percaya. Dari mana dia dapat nomor hapeku. Kalaupun Tanya ke teman, untuk apa sampai dia mencari tau nomorku. Sejak kapan dia mulai memperhatikanku ya,,hahaha, pikiran itu juga sempat terlintas di kepalaku. Ada rasa malu, tapi juga ada rasa bahagia yang membuncah.
Tapi tunggu dulu, kenapa aku bisa kegirangan seperti ini. Meskipun dia yang mengirim pesan, memangnya kenapa. Bukankah kita memang teman sekelas, wajar saja kalau dia ingin mengirim ucapan selamat tahun baru kepada teman sekelasnya. Untuk sekedar mendapat nomor telpon, gampang bisa Tanya ke teman sekelas lainnya, atau kebetulan pas tidak sengaja ada nomor telpon teman sekelasnya makanya skalian dia ngirim kenomorku juga. Mungkin saja dia juga mengirim pesan itu ke semua temannya, bukan ke nomorku saja. Jangan GR dulu. Lagi pula ada cowok keren yang selama ini jelas-jelas memperhatikanmu khan dan selalu setia menunggu balasan hatimu, kenapa GR dengan anak rohis yang notabenenya beda banget sama aku. Dan bukan setipe.
Aku tidak mau terlalu pusing memikirkan hal ini lagi. Kumatikan hape, lalu kupejamkan mataku. Tapi pikiranku masih susah untuk tidur. Kepalaku masih sibuk memikirkan hal itu. Kenapa,kenapa, dan kenapa ya?? Kuingat-ingat lagi apa yang sebelumnya terjadi, barangkali ada sangkut pautnya dengan kejadian yang kualami malam ini.
Sebentar, kemarin saat aku baru mau pulang dari kostan menuju rumah. Aku ingat saat itu baru saja kami, termasuk teman-teman sekolahku selesai mengikuti tes tryout STAN. Ya, itu salah satu perguruan tinggi favorit yang kami inginkan setelah lulus dari sekolah ini. Aku, fina, dan Tika, mereka berdua adalah teman satu kosan denganku, sekaligus teman sekamarku. Kita bertiga berjalan menuju halte bis, tempat biasa kami menunggu bis jurusan Magelang-Jogjakarta untuk pulang ke rumah masing-masing setiap akhir minggu. Kami berasal dari kota yang sama, dan sekolah di tempat yang sama, sekaligus menjadi sahabat karena merasa senasib sepenanggungan, begitulah akrabnya kami disebut. Di sana kami sudah janjian untuk pulang sebis bareng dengan teman sekota yang lain, yang ini beda kos, karena mereka laki-laki. Dwi, yang sering kita panggil mbah Dwi, karena pemikirannya yang lebih dewasa diantara kami. Candra, dan satu temen cewek si Chacha. Ketiganya temanku dari SMP. Jadi kita memang akrab.
Seperti biasa, setiap pulang barang bawaan kita pasti sangat berat seperti ini, satu tas gendong dengan isi buku-buku sekolah, dan satu tas tangan dengan isi baju. Maklum kami sedang menghadapi liburan panjang dua minggu. Saat ini juga kami harus belajar ekstra untuk menghadapi Ujian Nasional dan Test perguruan tinggi. Jadi segala macam buku yang sekiranya penting tidak boleh ketinggalan meskipun berat. Saat kita berjalan mendekati halte, sudah terlihat di seberang jalan  mbah Dwi dan rombongannya. Sepertinya ada bebarapa orang yang tidak begitu akrab dengan wajah Magelang. Oh ya Tuhan, itu khan kelompok teman-teman rohis di sekolahku. Mereka sepertinya juga mau pulang kampung, mungkin tadi ketemu di jalan bareng rombongannya mbah Dwi. Mereka tidak berasal dari luar kota, tapi juga kos, karena rumahnya juga lumayan jauh dari sekolah. Salah satunya ada temenku sekelas, sepertinya aku mengenal wajahnya, tentu saja dia kan anak rohis di sekolahku. Meskipun kita teman sekelas, tapi kita tidak begitu akrab, maklum beda sifat. Dia orangnya yang begitu halus, tahu agama dengan baik, kumpulnya juga paling sama anak-anak rohis juga. Sedangkan aku, gag pake jilbab, sering pake baju lengan pendek, kumpulku pun dengan anak-anak yang yah bisa dikatakan gaul. Tapi kuakui meskipun kelihatannya kuper, akademiknya bagus, aktif di berbagai organisasi di sekolahku lagi.
Kulihat kedua rombongan itu menyeberang barengan, tapi ada yang berbeda dan membuatku sedikit kaget. Anak laki-laki yang kusebut anak rohis itu sempat melihat ke arahku. Mungkin karena dia sadar melihat ada teman sekelasnya juga kali. Dia langsung menoleh memeriksa trafficlight di depannya, kemudian menegok kanan-kiri apakah ada kendaraan yang sedang berjalan atau tidak. Setelah yakin tidak ada kendaraan yang berjalan, mereka segera menyeberang. Dan anak rohis itu, melihat kearahku lagi, kali ini dia tersenyum padaku. Aku sendiri hanya sedikit kaget dan keheranan untuk apa dia senyum ya. Belum sempat aku membalas senyum, mereka sudah sampai di depanku, dan dia langsung menyapaku.
“Mau pulang juga Fa? Tadi gimana tryoutnya, bisa ngerjain berapa?” Tanyanya.
Aku yang sedikit bengong karena heran, tumben orang sealim ini menyapa cewek gaul kayak aku, dan Tanya basa-basi yang menurutku tidak terlalu penting lagi. Kecuali kalau kita memang sudah akrab sebelumnya. bahkan kita hampir tidak pernah saling menyapa.
“Hah, iya,,emm gagtau tuh tadi ngisinya main ngawur-ngawur aja” Jawabku setelah sadar dari kebengonganku.
“Owh, pulangnya bareng-bareng ya anak Magelang?” kembali dia Tanya..
“Iya”
“Kamu juga mau pulang Suf?” Tanya Fina, dia memang sudah lebih kenal karena Fina juga lumayan aktif di rohis sekolahan kami.
“Iya” Jawabnya.
“Eh Ucup, mbok aku diajari, kamu khan pinter.” Tanya Chacha, teman sekelas kami juga, yang juga sudah lumayan akrab dengan anak itu.
“Ahh kamu juga pinter oq Cha” Jawabnya singkat, sambil tersenyum dan dengan sikapnya yang selalu merendah hati.
Aku yang masih sangat canggung diantara mereka karena belum begitu akrab dengan anak itu, hanya terdiam, dan senyum gag jelas. Padahal kami sudah menjadi teman sekelas sejak sejak kelas dua lalu, tapi spertinya sama-sama jaga jarak. Suasana pun menjadi lebih cair, karena mereka mulai ngobrol banyak, apalagi diisi kekonyolan Candra sambil nunggu bis yang tidak kunjung datang. Tapi aku masih dalam kecanggunganku. Akhirnya bus yang kami tunggu-tunggu datang juga. Ya ini dia, bis jurusan Magelang-Jogjakarta.
“Yuk naik, keburu penuh.” Teriakku dengan semangat.
“yok ayo ayo” Mbah Dwi dan rombongan kami segera naik dan mencari tempat duduk masing-masing. Kecuali rombongan Yusuf tadi, karena memang tujuan pulang mereka berbeda dengan kami. Mereka pulang kearah Gunung Kidul, sedangkan kami menuju Magelang. Bis yang kami tumpangi ini tidak langsung berangkat. Bis ini ngetem (bahasa ksehariannya bis yang sedang nongkrong menunggu penumpang). Berada di dalam bis ini sangat panas dan pengap, maklum transportasi umum dengan fasilitas alakadarnya. Ya seperti biasa, inilah kebiasaan kami di sabtu siang seitap mau pulang kerumah. Sambil menunggu bis yang ngetem, kita ngobrol apapun yang bisa diperbincangkan saat itu, tentang sekolah, ada yang tentang pacarnya, atau tentang apa yang ingin dilakukan setibanya di rumah masing-masing nanti. Aku duduk sebangku dengan Tika di barisan paling depan, sebelah bangku supir. Jendela di sampingku sudah kubuka lebar, tapi masih saja panas dan pengap. Hampir semua penumpang di bis ini mengeluh, kapan sih bis ini berangkat, sekedar ingin merasakan semilir angin ketika bis berjalan. Lalu aku berusaha mencari angin di luar bis melalui kaca jendela di sebelah kiriku. Aku menoleh keluar bagian belakang. MasyaAllah, anak rohis itu sedang melihat ke arahku. Sepertinya dia memperhatikan aku daritadi.. Aku semakin kaget, dan dengan singkat aku tersenyum padanya, karena merasa tidak enak,dia kan teman sekelasku. Aku juga sempat bilang,
” pulang dulu ya”, sambil tersenyum, sekedar basa-bai karena aku sudah naik bis duluan.
Dia membalas senyumku dan menganggukkan kepalanya, menandakan mengiyakan apa yang barusan aku katakan. Ya Tuhan aku semakin bingung dengan sikapnya dari tadi. Apa yang terjadi padanya, sepertinya sikapnya berbeda sekali, tidak seperti biasanya. Aku jadi keGeeRan sendiri
Mulai dari situlah, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dari sikapnya. Seperti ada perhatian lebih, seperti ada perasaan yang berbeda dibandingkan dengan teman biasa. KeGRanku ini juga bukan perasaan biasa sekali, seperti ada harapan lebih dariku. Tapi entah apa itu.
Bersambung---


3 komentar:

  1. iki cerito cerpen opo diangkat soko cuplikan kisah hidupmu ret ? sepertinya saya tau siapa itu yusuf :P

    BalasHapus
  2. heh gag oleh nggosip,,. ogak koq,,iki cuman ngarang

    BalasHapus
  3. masakkk ??
    aku kenal kamuu udh brtahun2 ret...ga bs bohong kamu...haha

    BalasHapus